Friday, April 17, 2015

Kind a Game

Aku takut berada di sini. Undangan itu membawaku ke ruangan ini dengan orang-orang yang tak begitu aku kenal. Tidak semuanya, ada satu perempuan yang dulu pernah aku kenal baik. Jelas aku terkejut melihatnya di tempat yang entahlah sampai beberapa jam ini menjadi tempat yang menakutkan. Bagaimana tidak, ada sebelas orang-orang yang tak begitu ku kenal memiliki otak-otak cerdas, sama sepertiku. Bukan maksud menyombongkan diri, hanya saja mungkin karena itu jugalah aku diundang ke tempat ini. 

Sejak beberapa jam yang lalu banyak wajah-wajah cemas yang muncul dari orang-orang di sini. Termasuk aku dan perempuan tersebut, aku juga sudah berbicara dengannya beberapa menit yang lalu. Mencari solusi yang pas dan juga membicara masa lalu yang pahit, tentu saja aku tak mengatakan hal tersebut lagi setelah beberapa tahun sejak terakhir aku melihatnya. Belum begitu lama tetapi rasanya buatku lebih dari faktanya. 

Situasi makin sulit di sini, hingga kini aku berhadapan dengannya. Aku menahan napasku saat berhadapan dan menatapnya dengan lekat. Sudah lama aku tak merasakan hal ini dan dia masih begitu sama sejak terakhir aku lihat. Aku mulai cemas, dirinya juga. Tempat ini benar-benar menyeramkan. 

"Aku tak begitu yakin kita bisa di sini dalam situasi seperti ini. Bagaikan mimpi," katanya mengisi kesenyapan dan ketegangan di tempat ini. 

"Aku juga, tapi aku bersyukur bisa bertemu denganmu lagi. Bagaikan mimpi." Begitu saja terucap dengan dia tersenyum tipis dan tetap kami merasa cemas. 

"Game must be go on." 

"Yeah!" 

Setelah beberapa menit dimulai, aku terpojokkan. Semua berada di tangannya dan aku tahu akan kalah. 

"Don't cry!" ucapku dengan hati-hati dan juga tertuju juga padaku. Ya, tak terasa air mataku mengalir begitu saja seperti dirinya. 

"Pastikan kamu keluar dari sini, laporkan di balik semua ini. I know you can." 

Air matanya tambah deras, dia bersiap-siap dengan tangannya yang bergetar hebat. Pada akhirnya aku tidak bisa menolongnya dan harus melakukannya lagi padanya. Aku hanya bisa pasrah, mungkin ini takdir untuk kita yang tidak bisa bersatu dan aku merasa lemah. Ya, setelah sekian lama bertemu dengannya dan takdirku seperti ini. 

"Maaf," katanya di sela air-air matanya itu. 

Bunyi pelatuk pistol berbunyi dan ya sampai di sini sudah. Aku menutup mataku dengan pasrah dan bersiap diri. Sekian lama dan aku tetap tidak bisa mengatakan hal tersebut padanya. Mengatakan sejak saat terakhir melihatnya aku... masih mencintainya.

7 comments:

  1. Itu tempat apa sih? Kayak Hunger Game, mesti membunuh untuk mendapatkan. O_o

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tempat yang aman untuk "bermain". Dibilang mirip hunger game mungkin ada benarnya, tapi ini bukan saling membunuh berdasarkan kekuatan fisik melainkan dengan otak.

      Delete
    2. Membunuh dengan otak? Wow.. :O

      Delete
  2. wah ini udah jadi berprofesi jadi pemimpi berapa tahun?? mimpinya menarik ditambah tulisannya yang keren... jangan lupa mampir ke blog saya ka http://www.alfskh.com lagi blog walking.. makasih :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Haha, sejak kapannya? Jadi pemimpi sejak masih SD kali ya. Terima kasih sudah mampir dan membaca tulisannya :)

      Delete
  3. Ceritanya ini dihukum mati gitu, ya?

    Kurang panjang, bro. Mungkin kalo agak panjang dikit lagi, bakal terasa dah.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, namanya juga flash fiction jadi ya cuma segini, belum detail banget. Rencananya mau diubah ke cerpen terus dibuat novel. Ditunggu aja, siapa tahu terbit (ngarep) :D

      Delete