Tuesday, September 6, 2016

Senja Yang Tak Lagi Sama


Senja selalu memperlihatkan sisi magisnya setiap kali aku menatapnya. Biru langit yang perlahan berubah warna itu mempertunjukan padaku bahwa kehidupan ini selalu akan berubah seiring waktu. Begitu dengan kita yang sedang menikmati senja berdua, perlahan kita mulai berubah.
 
Entah sejak senja yang keberapa tetapi aku merasakannya. 

Lain hati sudah kamu berdiri di sampingku. Seraya melihat burung-burung camar terbang entah pulang ke sangkarnya atau bahkan pergi mencari sangkar barunya. Apa perlu kita kembali ke situasi awal di mana hati ini senantiasa pulang ke rumahnya atau terbang mencari rumah yang baru? Dua pilihan yang selalu kutemui selama ini dan harus ada yang dikorbankan, entah itu kebahagiaanmu atau cintaku. 

"Aku merasa jalanku sudah tidak sejalan denganmu," ucapmu yang selalu kutakutkan itu terucap juga olehmu.

Matamu menatapku penuh rasa bersalah, aku tidak bisa menghindarinya karena mungkin tatapanmu ini yang terakhir untukku. 

"Aku minta maaf."

Tidak ada yang bisa kusalahkan padamu, mengapa kamu harus meminta maaf padaku? Aku yang mungkin harus meminta maaf padamu. Selama ini mungkin aku yang selalu tidak bisa menjaga perasaan kita, hingga kamu berjalan di jalan yang lain. 

"Untuk apa?"

Langkahmu sudah di jalan yang lain, jadi untuk apa kamu meminta maaf. Semua sudah terjadi, tidak ada yang bisa kita ubah dan perbaiki. Satu-satunya yang tersisa hanya kamu yang berjalan menjauh dariku, aku bisa apa? Bila aku mengejarmu mungkin kamu akan berlari menjauh ketakutan. 

"Atas semua yang sudah terjadi. Semua yang sudah berubah. Semua yang tidak lagi berada di jalanmu atau jalanku."

Namun hati ini masih tidak dapat menerimanya. Sehingga perlahan ada retak-retak kecil yang akan menimbulkan perasaan sakit yang pernah kualami. Semacam hukum sebab akibat, bila aku ingin tidak merasakan apa yang pernah kualami tersebut harus ada yang dikorbankan seperti yang sudah kujelaskan. 

Gak, seharusnya aku tidak berbuat seperti ini.

"Tahan, sedikit lagi saja. Aku mungkin bisa memperbaikinya."

Apa memang bisa kuperbaiki dari semua ini? Aku meragukan hal tersebut, tetapi aku masih ingin berusaha untuk bisa berjalan sejalan denganmu. Bersisian satu sama lainnya, mempertahankan apa yang sudah kita lewati bersama. Berusaha melewati semua rintangan, betul ini cuma satu di antara rintangan-rintangan yang menghalangi kita, bukan?

Hingga kamu menyadariku.

"Untuk apa? Semua sudah terjadi, aku gak mau lebih menyakitimu lebih dari ini." 

Namun memang sudah tidak ada lagi yang bisa kuharapkan. Semua sudah selesai, begitu juga aku yang melepaskanmu untuk kebahagiaanmu dan mengorbankan cintaku. Di sini aku yang mungkin tersakiti, karena sampai terakhir aku tahu bahwa cintaku lebih dari yang kubayangkan dibandingkan cintamu. Jadi di sinilah jalan kita bercabang, mengucapkan salam perpisahan. Selamat tinggal.

Saturday, September 3, 2016

[Cerpen] Pada Sebuah Pertemuan


Sudah lama sekali aku menantinya.

Hari di mana aku dapat melihat wajahmu kembali setelah sekian tahun lamanya. Ajakanmu lewat surat elektronik itu pun aku langsung iyakan. Saat aku membacanya rasanya dada ini bergemuruh hebat. Seketika pula seluruh badanku terasa kaku di tempat, karena kamu sendiri yang mengajak bertemu.

Kamu perlu tahu bahwa sehari sebelum aku membaca ajakanmu tersebut aku sempat memimpikanmu dalam tidurku. Bahkan aku terheran sendiri saat aku terbangun dan meyadari bahwa aku tidak berada di sudut taman kesukaanmu. Ini yang pertama kalinya setelah sekian tahun lamanya pula.

Pada akhirnya aku punya satu jadwal di luar setelah dua minggu ini aku tidak ada meeting atau hangout ke luar. Memang sudah waktunya pula aku mengisi ulang pikiran yang sedang buntu. Ajakanmu datang tepat waktu, pikirku.

Di sinilah aku sekarang, di tempat yang kamu sarankan. Sebuah kafe mungil di pinggir kota besar ini. Datang sebelum waktu yang kita sepakati bersama. Simpel, karena aku suka menunggu, terlebih yang sekarang kutunggu adalah kamu. Cuaca di luar pun cukup cerah di musim penghujan begini, petanda yang baik akan pertemuan kita, bukan?

"Hai," ucapmu selagi aku sibuk dengan kalender smartphone.

Senyumku melebar saat melihat wajahmu yang tidak begitu berubah sejak terakhir kali aku melihatnya. Mungkin gaya rambutmu yang diurai begitu saja yang terlihat sedikit berbeda. Kamu duduk di hadapanku sembari menaruh tas jinjit. Aku menyuruhmu untuk memesan minum pada pelayan kafe.

"Rasanya sudah lama sekali ya, lima, enam tahun?" ucapmu begitu selesai memesan dan serius menatapku.

Lima atau enam tahun buatku hanya berupa angka kecil, jauh dibandingkan bagaimana kita berdua menjalani hidup masing-masing. Kamu pun sadar akan hal tersebut makanya dibuat berlebihan seakan memang setara dengan apa yang kita lewati. Waktu memang berputar cepat tetapi value yang kita lewati sungguh luar biasa.

"Iya, saat reuni terakhir yang aku datangi."

"Aku terakhir dua tahun yang lalu dan benar kamu gak ada."

Aku tahu akan fakta itu, dua tahun yang lalu salah satu dari teman sekelas memberitahukanku. Saat itu dia memang sedang berkunjung seminggu setelah reuni. Mengantarkan sebuah undangan yang tidak bisa aku kunjungi. Aku mendengarnya bahwa kamu mencariku saat reuni tersebut,

"Maaf kalau ganggu hari kerjamu," ucapmu begitu merasa basa-basi ini tidak berujung.

"Haha, gak lah. Jam kerjaku kan fleksibel."

Pembicaraan kita berlanjut ke hal-hal yang cukup random seperti biasanya. Tidak ada dari kita yang tidak bosan membicarakan hal-hal yang sudah sering kita bicarakan sebelumnya. Bahkan hal-hal yang sudah kita lakukan beberapa tahun terakhir ini.

Bernostalgia dengan keadaan.

Bernostalgia dengan waktu.

Terakhir bertemu denganmu juga seperti ini, sudah melewati lima tahun dan kita masih sama. Tidak ada yang berubah pada kita. Aku mulai bertanya-tanya akan sebuah kemungkinan kita. Begitu pula dengan sebuah ceritamu yang tidak pernah diakhiri tersebut. Cerita tentang seorang yang kamu kagumi itu.

Tidak terasa pula waktu yang cepat bergulir, sore mulai meredup, orang semakin berlalu-lalang di luar. Kafe mulai didatangi banyak orang dan kita masih senantiasa pada cerita-cerita tentang perjalanan ke tempat impianmu, Italia. Dengan cangkir-cangkir kopi yang mulai diambil kembali oleh pelayan.

Tidak ada dari kita yang ingin mengakhiri pertemuan ini.

Hingga kita dipaksa oleh waktu yang masih cepat bergulir. Di sinilah titik yang kita hindari, sebuah perpisahan. Dingin malam pun menghantarkan sisa-sisa hari ini, menyelimuti sisi kota yang mulai lelah.

"Apa perlu aku antarkan kamu hingga studiomu?" tanyamu seakan ingin memperpanjang hari ini.

Hingga di saat terakhir pun senyummu masih merekah, walau kita sama-sama tahu bahwa setelah ini kita akan melewati hari-hari panjang lainnya.

"Tidak perlu, pegawaiku sudah ada yang menjemput ke sini."

"Begitu?"

Ini pertama kalinya ada hening di antara kita hari ini. Kata-kata seakan membeku diam tidak terucap, begitu dengan tatapan kita. Aku baru sadar bahwa matamu cukup bersinar pada gelapnya malam.

Jernih, benderang.

"Kalau begitu aku duluan."

Belum juga berpaling balik menuju tempat parkir mobil, kamu berhenti bergerak dan menatapku kembali.

"Hari ini terima kasih, I hope we can meet again," ucapmu pelan terdengar jelas.

Jangan berterima kasih padaku karena aku tahu apa yang telah kamu lalui selama ini. Seharusnya pula aku yang harus berterima kasih padamu karena setelah selama ini kamu masih datang padaku. Terima kasih karena aku masih dapat bertemu, berbicara, dan melihat senyum dan matamu tersebut.

"Kamu tahu cara menghubungiku bila ingin bertemu saat ada sesuatu yang mengganggu hari-harimu."

Itu dia, senyummu masih merekah walau aku tahu kamu berusaha tegar dan tidak ingin mempertunjukannya. Aku tahu karena matamu berbicara lebih dari senyummu itu. Aku hanya berharap pertemuan ini dapat berguna untuk masing-masing dari hari-hari kita, khususnya kamu.

Tidak lama kemudian kamu mengangguk pelan, kulihat ke belakang sudah ada pegawaiku yang datang menjemput.

"Kalau begitu aku duluan," ucapmu dan berbalik jalan menuju mobilmu terparkir.

Berdiri juga kita di titik perpisahan pada hari ini. Berakhir juga pertemuan ini, hal yang tidak ingin kita akhiri tersebut. Di mulai juga hari yang baru untuk kita, karena memang sudah berganti, tepat jam dua belas malam.

Waktu memang masih cepat bergulir.

"Sudah lama nunggu, Mas?" tanya pegawaiku sopan.

Aku hanya menggelengkan kepala dan masih menatap kamu hingga masuk ke dalam mobil.

"Hmm, Mas, perempuan barusan itu yang ada di studio, bukan? Lukisan yang besar itu."

"Hahaha, matamu jeli juga. Anak-anak bagaimana? Masih di studio?" tanyaku langsung karena takjub  pegawaiku ini menyadari hal tersebut.

"Pas pergi ke sini sih lagi pada istirahat main playstation. Kayaknya sih pada sepakat untuk lembur."

"Kalau begitu kita mampir ke fast food 24 jam, aku traktir semuanya."

Hari kita dimulai dengan menuju jalan yang berlawanan. Aku berharap jalanmu tidak menghambatmu berjalan. Berharap juga jalanmu menemui sebuah persimpangan untuk berhenti sejenak dan mengamati sekelilingmu. Bahwa di ujung jalan yang lain aku dengan senantiasa menunggumu selalu.

Dengan atau tanpa apa yang kita sebut cinta.