Saturday, November 21, 2015

Next to Me

Kamar ini terlalu megah untuk gue. Gue bahkan kaget saat diajak ke sini, tak percaya bahwa klien kali ini ternyata benar-benar berduit. Gue mengambil ponsel  di coffee table dekat kasur, memeriksa jam. Jam dua dini hari, ternyata sudah sejam berada di kamar ini. Di kamar mandi terdengar air gemercik, laki-laki yang gue lupa namanya, entah Fredie atau Fendi sepertinya sedang membilas tubuh. Gue tanpa sengaja melihat segepok uang yang dia siapkan tadi di atas coffee table. Gue mengambilnya malas dan gue tak perlu menghitungnya kembali. Bisa menyewa kamar megah seperti ini tak mungkin tidak bisa membayar atas permainan yang hampir sejam barusan.
Sepertinya laki-laki yang sedikit bertambun itu sudah selesai dengan kamar mandinya. Gue juga mendengar pintu kamar terbuka dan tertutup. Sepertinya laki-laki tersebut sudah meninggalkan kamar ini dan gue sendirian sekarang. Gue hanya perlu check out pagi nanti dan menyuruh Boy untuk menjemput. Selama waktu itu gue tak bisa tertidur bahkan sesudah membilas tubuh sekalipun, karena sangat disayangkan bila kamar ini hanya untuk ditiduri saja. Kapan lagi coba menikmati sebotol wine yang disiapkan klien gue saat ditawari pihak hotel tadi. Maka dari itu gue sudah mengirim pesan untuk Boy untuk menjemput nanti pagi.
Saat pagi datang dengan sisa-sisa alcohol yang ada gue bersiap keluar dari kamar ini dan check out. Boy juga sudah berkali-kali menelepon dan tak gue angkat, sepertinya ia sudah berada di lobby. Benar saja, Boy langsung menghampiri saat selesai dengan resepsionis.
“Wow-wow, aku mencium alcohol. Kau minum?” ucapnya pertama kali, salahkan dia yang benar-benar mencari klien yang berduit dan tahu caranya menghamburkan uangnya.
“Salahkan klien yang kamu temui itu, dia benar-benar boros. Gue hampir menghambiskannya setengah botol.”
“Tapi gak lupakan sama bagianku, sepuluh persennya,” ucapnya menyebalkan dengan menengadah tangan kanannya.
Gue langsung mengambil amplop di tas jinjing yang sudah disiapkan atau disisihkan hasil uang yang gue dapat untuknya. Tak lama setelah itu gue tak begitu ingat karena mungkin gue tertidur dan juga efek alcohol gue sudah berada di kamarnya. Gue melihat Boy yang sedang meletakkan masakannya di meja makan.
“Sudah bangun? Ini ada sop gitu, makan yuk!”
Mau gak mau gue berjalan dan duduk manis di hadapannya. Gue pun menyuapkan sendok ke dalam mulut, mengunyahnya. Masakannya Boy selalu bisa membuat gue nambah hingga tak sadar bahwa berat badan juga ikut nambah. Perlahan sakit kepala gue juga mulai hilang.
“Kamu tahu, sebenarnya kamu bisa saja berhenti dari ini semua kalau mau, Raina.”
Gue tak tahu tiba-tiba saja Boy mengatakan ini. Padahal dia sendiri di awal yang menawari semua ini terlebih lagi gue memang butuh duit. Siapa sih yang tak butuh duit sekarang ini? Semua hal butuh duit. Begitu pula Boy, gue yakin dia butuh duit juga.
“Aku dapat banyak masukan dari beberapa klien kalau kamu ini terkadang mengintimidasi mereka akhir-akhir ini.”
Di sini sudah tak masuk akal menurut gue. Mereka menikmatinya dan mereka bilang begitu padanya? Apa sih semua laki-laki ini?
“Jadi kamu suruh gue berhenti?” tanya gue tak sabar.
“Bukan kamu, tapi kita. Aku juga akan berhenti, Raina.”
“Kenapa?” tanya gue kali ini kaget mendengar pernyataan tersebut.
“Aku ini cuma seorang amatir, Raina. Di luar sana masih banyak yang lebih professional dariku. Terlebih lagi aku merasa bersalah melihatmu yang sekarang, Raina.”
Gue benar-benar tak mengerti semua ini. Rasanya yang ia katakan ini terasa non-sense. Ia bersalah akan apa? Di luar banyak yang lebih professional, so what? Who care about it? Selama uang masuk gue gak mempermasalahkan hal tersebut.
“Kamu ingat pertama kali kamu datang dan bercerita tentang masalahmu dengan uang. Saat itu aku berharap bahwa aku tidak membeberkan identitasku ini. Sayangnya aku menawarkannya dan kamu menerimanya dengan entengnya. Aku menyesal karena itu.”
Gue mulai gak nafsu nambah makan lagi. Sayang saja nasi yang gue ambil tersiakan begitu saja. Ini benar-benar gak masuk akal.
“Menyesal bagaimana, kamu dapat bagiannya juga kan?”
“Ini yang aku maksud, Raina. Kamu hanya memikirkan uang saja. Kamu sudah berubah, Raina dan aku tanpa sadar ikut campur akan hal itu.”
Boy yang tetap menatap dengan tatapannya itu membuat gue merasa tak tahu akan maksud dari semua pembicaraan ini. Gue pun berdiri dan segera bergegas mengambil tas, ingin rasanya keluar dari apa yang sedang terjadi di sini. Boy masih setia di tempatnya sambil mengamati, seakan membiarkan gue begitu saja.
Setelah semua siap, gue berjalan ke arah pintu. Gue menatap jam tangan yang berdetik ke arah jam setengah sepuluh. Gue baru menyadari bahwa masih pagi hari, kamar ini terlalu tertutup untuk mengetahui hal tersebut.
“Sepertinya jalan kita sudah berbeda kali ini, aku tak akan mencarimu,” ucap Boy di tempatnya sambil mengamati gue yang sedang memakai high heels.
Ya, selamat tinggal, Boy. Ucap gue dalam hati dan pergi dari kamar itu tanpa meninggalkan sepatah katapun lagi

***

Seminggu lebih sudah gue tak melihat Boy, pendapatan pun makin buruk adanya. Gue harus mencari klien sendiri. Tak segan pula gue pergi ke klub-klub malam atau bahkan berjalan-jalan di tempat para saingan gue mentereng. Ternyata cukup sulit terlebih lagi saingan di luar sana ternyata memang cukup banyak.
Rasanya gue mulai merasa sendirian dalam hingar bingar lampu yang berkelap-kelip. Musik yang berdentum keras pun tak terasa menemani gue sama sekali. Segelas Martini cukup terasa lebih pahit dari biasanya. Cukup sayang bila tidak dihabiskan pikir gue, hari ini cukup melelahkan pikiran.
Apa yang sedang dilakukan Boy sekarang?
Tidur?
Atau bahkan sedang berada di tempat seperti ini sekarang?
Mengapa gue memikirkannya?
Gue pun mendesah memikirkannya. Apa memang benar yang dikatakan Boy tempo hari? Bahwa gue sudah berubah, gue mencari-cari apa yang berubah setelah perkataannya tersebut. Semakin gue mencari semakin membuat gue tersesat di pikiran sendiri.
Rasanya situasi seperti sekarang ini juga sudah bisa dikatakan sudah berubah. Bahkan gue merasa asing di tempat yang sudah berkali-kali gue kunjungi ini. Musik EDM pun terasa tak sekeras biasanya. Semua terasa berubah hanya dalam jangka beberapa hari ini saja.
“Hai!” tetiba gue mendengar ada yang menyapa.
Sejak kapan laki-laki ini berada di samping gue? Gue bahkan tak menyadari sekeliling sekarang? Gue hanya bisa tersenyum membalas sapaannya.
“Sendiri?”
Gue mengangguk, apa perlu gue berusaha dengan laki-laki ini. Dari penampilannya yang cukup berkilau di mana-mana rasanya cukup tebal dompetnya. Gue bahkan melihat kalung emasnya tersebut. Dari baunya pun gue mencium rasa yang cukup familiar dengan klien-klien gue yang lain.
“Gak ke lantai dansa?” tanyanya lagi, sepertinya laki-laki yang cukup sering bertanya. Itu pertanda baik bukan? Gue rasa kami akan berakhir di tempat tidur, pikir gue.
“Sudah tadi. Sepertinya kamu baru di sini ya?”
“Ya, baru beberapa menit yang lalu.”
Gue melihat segelas Vodka di hadapannya. Gue rasa memang benar dugaan tadi. Perlu dicoba menariknya untuk berminat.
“Mau tambah minum, biar gue yang bayar,” ucapnya setelah melihat gelas martini yang sudah setengahnya gue minum.
“Gak usah, ini saja belum habis,” kata gue sambil mengambil gelasnya dan meneguknya beberapa teguk.
Baru saja ingin menanyakan akan ke mana setelah ini, tetapi kepala gue mulai berat. Tatapan gue mulai kabur. Terasa berputar-putar, apa ini? Belum sempat gue sadari, badan mulai ikutan lemas. Laki-laki barusan seperti terlihat berteriak mengatakan sesuatu, gue tak mendengarnya. Semua indra tak berfungsi sebenarnya. Sebelum semuanya gelap gue melihat laki-laki itu tersenyum.
Damn.

***

Gue membuka mata perlahan dan melihat sosok manusia yang menyerupai binatang buas sedang menyiksa. Gue pun tanpa sadar mengerang kesakitan berkali-kali, tanpa sadar mata mulai berair dan begitu saja mengalir. Saat itu yang gue terpikirkan hanya Boy, tanpa sadar gue memanggilnya dalam erangan kesakitan ini.
Gue tak memikirkan ada di mana ini dan sebagai macamnya. Gue hanya ingin terlepas dari binatang buas ini. Berkali-kali melepaskan diri, binatang buas ini memukuli wajah gue. Berkali-kali hingga pada akhirnya gue tak dapat melakukan apa pun.
Saat sebelum tak sadarkan diri yang terbesit di bayangan gue hanya Boy.
Hingga pandangan gue hilang, kalimat itu akhirnya terucap.
Tolong gue, Boy!

***

Badan gue terasa sakit sekali. Gue membuka mata perlahan. Baru sedikit gue gerakan, badan terasa perih dan sakit. Angin yang berhembus membuatnya tambah perih dan menyayat, dingin. Gue sadar apa yang terjadi, binatang buas itu tak terlihat. Gue melihat sekeliling, tak tahu akan di mana ini berada. Semacam gudang yang tak dirawat.
Dengan sekuat tenaga gue menahan sakit memar di wajah, gue mengambil ponsel yang terlihat terdampar di samping. Dengan gemetar gue mengambilnya dan memencet layar pada angka dua, speed dial yang gue simpan.
Boy.
Tak diangkat.
“Boy, maaf. Gue, gue, tolong gue, Boy,” ucap gue sembari terisak menahan sakit. Semoga pesan suara ini didengar olehnya
Tak lama dia menelepon balik. Gue mengangkatnya dan tangis itu meledak begitu saja, gue mendengar Boy yang menyuruh tenang. Gue tak bisa, sakit ini terasa sangat-sangat menyakitkan. Berkali-kali kata maaf dan tolong terlontarkan selama air mata ini mengalir.
“Oke-oke, aku  ke sana sekarang. Kamu bisa kirim lokasi lewat ponselmu, kan? Aku ke sana sekarang,” ucapnya terdengar cemas.
Gue melakukan apa yang Boy minta, gue mengirimkan lokasi map padanya. Setelah itu pandangan gue mulai kabur dan hilang.
Begitu membuka mata perlahan gue menatap sekeliling yang serba putih. Cairan mineral tergantung di samping dengan selang yang ujungnya berakhir di lengan kiri. Dengan berat gue menatap kanan dan menemukan Boy yang tidur tertunduk di kasur.
Tanpa sadar gue mulai terisak melihatnya.
Gue merasa bersalah telah menghubunginya lagi dalam keadaan seperti ini. Yang lebih bersalahnya lagi dia menolong gue setelah apa yang terjadi tempo hari di kamarnya itu. Perpisahan yang ia ucapkan.
Boy terbangun karena isakan gue.
“Kenapa? Ada yang sakit? Aku panggil dokter dulu,” ucapnya bingung melihat gue menangis.
Gue menahan tangannya. Boy berhenti, menatap gue yang kembali terisak setelah melihat tatapannya yang hangat itu.
Gue menutup mata dengan tangan kiri, gue tak berhak mendapatkan tatapan itu setelah apa yang telah terjadi.
“Maaf, maaf, maaf,  maaf,” ucap gue berkali-kali, tak tahu tertuju pada siapa.
Entah dirinya atau bahkan untuk gue sendiri.
Boy mengusap kepala gue berkali-kali seiring kata maaf yang gue lontarkan berkali-kali. Dirinya berusaha menenangkan gue.
“Itu sudah cukup, Raina. Asal kamu sudah memaafkan dirimu sendiri, itu tandanya kamu sudah peduli pada dirimu sendiri. Itu sudah cukup, Raina,” ucapnya begitu terasa menghangatkan. Gue makin lepas menangis dan lega begitu mendengarnya.
Boy di samping sambil menggenggam tangan gue. Itu sudah cukup untuk gue.
Itu sudah lebih dari cukup.
Benar kan, Boy?

The End
---------------------------


Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen “Pilih Mana: Cinta Atau Uang?” #KeputusanCerdas yang diselenggarakan oleh www.cekaja.com danNulisbuku.com

Saturday, November 14, 2015

Jarak Kita

Aku menatap senja sore itu, sinar jingga itu terlihat indah. Kamu tahu mengapa? Karena sore itu kamu begitu bahagia. Senyum tak bisa lepas dari wajahmu, sore itu aku ikut bahagia karena melihatnya. 

Kemudian aku menatap bintang malam sesudah hari itu. Berkelip sendu, kamu tahu mengapa? Karena malam itu kamu begitu lepas, sangat terbalik dengan sehari yang lalu. Air matamu bersarang di sehelai kain kemejaku.

Dan kemarin kamu datang secepat badai angin saat itu. Berantakan, membawa benda tajam itu di tanggan kananmu. Mengarahkannya ke wajahku, aku berdiam diri menatapmu. Tanganmu kugenggam erat. 

Bila kalau aku pergi, di hadapanku hanya cuma kamu.
Berhentilah, aku rindu. 

Sore ini sinar jingga tampak redup. Senyummu terlihat pilu. Begitu juga aku.

Lalu, bila kamu pergi siapa yang akan ada di hadapanku kini?