Kamar ini terlalu megah
untuk gue. Gue bahkan kaget saat diajak ke sini, tak percaya bahwa klien kali
ini ternyata benar-benar berduit. Gue mengambil ponsel di coffee
table dekat kasur, memeriksa jam. Jam dua dini hari, ternyata sudah
sejam berada di kamar ini. Di kamar mandi terdengar air gemercik, laki-laki
yang gue lupa namanya, entah Fredie atau Fendi sepertinya sedang membilas
tubuh. Gue tanpa sengaja melihat segepok uang yang dia siapkan tadi di atas coffee
table. Gue mengambilnya malas dan gue tak perlu menghitungnya kembali. Bisa
menyewa kamar megah seperti ini tak mungkin tidak bisa membayar atas permainan
yang hampir sejam barusan.
Sepertinya laki-laki
yang sedikit bertambun itu sudah selesai dengan kamar mandinya. Gue juga
mendengar pintu kamar terbuka dan tertutup. Sepertinya laki-laki tersebut sudah
meninggalkan kamar ini dan gue sendirian sekarang. Gue hanya perlu check
out pagi nanti dan menyuruh Boy untuk menjemput. Selama waktu itu gue
tak bisa tertidur bahkan sesudah membilas tubuh sekalipun, karena sangat
disayangkan bila kamar ini hanya untuk ditiduri saja. Kapan lagi coba menikmati
sebotol wine yang disiapkan klien gue saat ditawari pihak
hotel tadi. Maka dari itu gue sudah mengirim pesan untuk Boy untuk menjemput nanti pagi.
Saat pagi datang dengan
sisa-sisa alcohol yang ada gue bersiap keluar dari kamar ini dan check
out. Boy juga sudah berkali-kali menelepon dan tak gue angkat, sepertinya
ia sudah berada di lobby. Benar saja, Boy langsung menghampiri saat selesai
dengan resepsionis.
“Wow-wow, aku mencium alcohol.
Kau minum?” ucapnya pertama kali, salahkan dia yang benar-benar mencari klien
yang berduit dan tahu caranya menghamburkan uangnya.
“Salahkan klien yang
kamu temui itu, dia benar-benar boros. Gue hampir menghambiskannya setengah
botol.”
“Tapi gak lupakan sama
bagianku, sepuluh persennya,” ucapnya menyebalkan dengan menengadah tangan
kanannya.
Gue langsung mengambil
amplop di tas jinjing yang sudah disiapkan atau disisihkan hasil uang yang gue dapat
untuknya. Tak lama setelah itu gue tak begitu ingat karena mungkin gue tertidur
dan juga efek alcohol gue sudah berada di kamarnya. Gue
melihat Boy yang sedang meletakkan masakannya di meja makan.
“Sudah bangun? Ini ada
sop gitu, makan yuk!”
Mau gak mau gue berjalan
dan duduk manis di hadapannya. Gue pun menyuapkan sendok ke dalam mulut,
mengunyahnya. Masakannya Boy selalu bisa membuat gue nambah hingga tak sadar
bahwa berat badan juga ikut nambah. Perlahan sakit kepala gue juga mulai
hilang.
“Kamu tahu, sebenarnya
kamu bisa saja berhenti dari ini semua kalau mau, Raina.”
Gue tak tahu tiba-tiba
saja Boy mengatakan ini. Padahal dia sendiri di awal yang menawari semua ini
terlebih lagi gue memang butuh duit. Siapa sih yang tak butuh duit sekarang
ini? Semua hal butuh duit. Begitu pula Boy, gue yakin dia butuh duit juga.
“Aku dapat banyak
masukan dari beberapa klien kalau kamu ini terkadang mengintimidasi mereka
akhir-akhir ini.”
Di sini sudah tak masuk
akal menurut gue. Mereka menikmatinya dan mereka bilang begitu padanya? Apa sih
semua laki-laki ini?
“Jadi kamu suruh gue
berhenti?” tanya gue tak sabar.
“Bukan kamu, tapi kita.
Aku juga akan berhenti, Raina.”
“Kenapa?” tanya gue kali
ini kaget mendengar pernyataan tersebut.
“Aku ini cuma seorang
amatir, Raina. Di luar sana masih banyak yang lebih professional dariku.
Terlebih lagi aku merasa bersalah melihatmu yang sekarang, Raina.”
Gue benar-benar tak
mengerti semua ini. Rasanya yang ia katakan ini terasa non-sense.
Ia bersalah akan apa? Di luar banyak yang lebih professional, so what?
Who care about it? Selama uang masuk gue gak mempermasalahkan hal
tersebut.
“Kamu ingat pertama kali
kamu datang dan bercerita tentang masalahmu dengan uang. Saat itu aku berharap
bahwa aku tidak membeberkan identitasku ini. Sayangnya aku menawarkannya dan
kamu menerimanya dengan entengnya. Aku menyesal karena itu.”
Gue mulai gak nafsu
nambah makan lagi. Sayang saja nasi yang gue ambil tersiakan begitu saja. Ini
benar-benar gak masuk akal.
“Menyesal bagaimana,
kamu dapat bagiannya juga kan?”
“Ini yang aku maksud,
Raina. Kamu hanya memikirkan uang saja. Kamu sudah berubah, Raina dan aku tanpa
sadar ikut campur akan hal itu.”
Boy yang tetap menatap
dengan tatapannya itu membuat gue merasa tak tahu akan maksud dari semua
pembicaraan ini. Gue pun berdiri dan segera bergegas mengambil tas, ingin
rasanya keluar dari apa yang sedang terjadi di sini. Boy masih setia di
tempatnya sambil mengamati, seakan membiarkan gue begitu saja.
Setelah semua siap, gue
berjalan ke arah pintu. Gue menatap jam tangan yang berdetik ke arah jam
setengah sepuluh. Gue baru menyadari bahwa masih pagi hari, kamar ini terlalu
tertutup untuk mengetahui hal tersebut.
“Sepertinya jalan kita
sudah berbeda kali ini, aku tak akan mencarimu,” ucap Boy di tempatnya sambil
mengamati gue yang sedang memakai high heels.
Ya, selamat tinggal,
Boy. Ucap gue dalam hati dan pergi dari kamar itu tanpa meninggalkan sepatah
katapun lagi
***
Seminggu lebih sudah gue
tak melihat Boy, pendapatan pun makin buruk adanya. Gue harus mencari klien
sendiri. Tak segan pula gue pergi ke klub-klub malam atau bahkan berjalan-jalan
di tempat para saingan gue mentereng. Ternyata cukup sulit terlebih lagi
saingan di luar sana ternyata memang cukup banyak.
Rasanya gue mulai merasa
sendirian dalam hingar bingar lampu yang berkelap-kelip. Musik yang berdentum
keras pun tak terasa menemani gue sama sekali. Segelas Martini cukup terasa
lebih pahit dari biasanya. Cukup sayang bila tidak dihabiskan pikir gue, hari
ini cukup melelahkan pikiran.
Apa yang sedang
dilakukan Boy sekarang?
Tidur?
Atau bahkan sedang
berada di tempat seperti ini sekarang?
Mengapa gue
memikirkannya?
Gue pun mendesah
memikirkannya. Apa memang benar yang dikatakan Boy tempo hari? Bahwa gue sudah
berubah, gue mencari-cari apa yang berubah setelah perkataannya tersebut.
Semakin gue mencari semakin membuat gue tersesat di pikiran sendiri.
Rasanya situasi seperti
sekarang ini juga sudah bisa dikatakan sudah berubah. Bahkan gue merasa asing
di tempat yang sudah berkali-kali gue kunjungi ini. Musik EDM pun terasa tak
sekeras biasanya. Semua terasa berubah hanya dalam jangka beberapa hari ini
saja.
“Hai!” tetiba gue
mendengar ada yang menyapa.
Sejak kapan laki-laki
ini berada di samping gue? Gue bahkan tak menyadari sekeliling sekarang? Gue
hanya bisa tersenyum membalas sapaannya.
“Sendiri?”
Gue mengangguk, apa
perlu gue berusaha dengan laki-laki ini. Dari penampilannya yang cukup berkilau
di mana-mana rasanya cukup tebal dompetnya. Gue bahkan melihat kalung emasnya
tersebut. Dari baunya pun gue mencium rasa yang cukup familiar dengan
klien-klien gue yang lain.
“Gak ke lantai dansa?”
tanyanya lagi, sepertinya laki-laki yang cukup sering bertanya. Itu pertanda
baik bukan? Gue rasa kami akan berakhir di tempat tidur, pikir gue.
“Sudah tadi. Sepertinya
kamu baru di sini ya?”
“Ya, baru beberapa menit
yang lalu.”
Gue melihat segelas
Vodka di hadapannya. Gue rasa memang benar dugaan tadi. Perlu dicoba menariknya
untuk berminat.
“Mau tambah minum, biar
gue yang bayar,” ucapnya setelah melihat gelas martini yang sudah setengahnya
gue minum.
“Gak usah, ini saja
belum habis,” kata gue sambil mengambil gelasnya dan meneguknya beberapa teguk.
Baru saja ingin
menanyakan akan ke mana setelah ini, tetapi kepala gue mulai berat. Tatapan gue
mulai kabur. Terasa berputar-putar, apa ini? Belum sempat gue sadari, badan
mulai ikutan lemas. Laki-laki barusan seperti terlihat berteriak mengatakan
sesuatu, gue tak mendengarnya. Semua indra tak berfungsi sebenarnya. Sebelum
semuanya gelap gue melihat laki-laki itu tersenyum.
Damn.
***
Gue membuka mata
perlahan dan melihat sosok manusia yang menyerupai binatang buas sedang
menyiksa. Gue pun tanpa sadar mengerang kesakitan berkali-kali, tanpa sadar
mata mulai berair dan begitu saja mengalir. Saat itu yang gue terpikirkan hanya
Boy, tanpa sadar gue memanggilnya dalam erangan kesakitan ini.
Gue tak memikirkan ada
di mana ini dan sebagai macamnya. Gue hanya ingin terlepas dari binatang buas
ini. Berkali-kali melepaskan diri, binatang buas ini memukuli wajah gue.
Berkali-kali hingga pada akhirnya gue tak dapat melakukan apa pun.
Saat sebelum tak
sadarkan diri yang terbesit di bayangan gue hanya Boy.
Hingga pandangan gue
hilang, kalimat itu akhirnya terucap.
Tolong gue, Boy!
***
Badan gue terasa sakit
sekali. Gue membuka mata perlahan. Baru sedikit gue gerakan, badan terasa perih
dan sakit. Angin yang berhembus membuatnya tambah perih dan menyayat, dingin.
Gue sadar apa yang terjadi, binatang buas itu tak terlihat. Gue melihat
sekeliling, tak tahu akan di mana ini berada. Semacam gudang yang tak dirawat.
Dengan sekuat tenaga gue
menahan sakit memar di wajah, gue mengambil ponsel yang terlihat terdampar di
samping. Dengan gemetar gue mengambilnya dan memencet layar pada angka dua,
speed dial yang gue simpan.
Boy.
Tak diangkat.
“Boy, maaf. Gue, gue,
tolong gue, Boy,” ucap gue sembari terisak menahan sakit. Semoga pesan suara
ini didengar olehnya
Tak lama dia menelepon
balik. Gue mengangkatnya dan tangis itu meledak begitu saja, gue mendengar Boy
yang menyuruh tenang. Gue tak bisa, sakit ini terasa sangat-sangat menyakitkan.
Berkali-kali kata maaf dan tolong terlontarkan selama air mata ini mengalir.
“Oke-oke, aku ke
sana sekarang. Kamu bisa kirim lokasi lewat ponselmu, kan? Aku ke sana
sekarang,” ucapnya terdengar cemas.
Gue melakukan apa yang
Boy minta, gue mengirimkan lokasi map padanya. Setelah itu pandangan gue mulai
kabur dan hilang.
Begitu membuka mata
perlahan gue menatap sekeliling yang serba putih. Cairan mineral tergantung di
samping dengan selang yang ujungnya berakhir di lengan kiri. Dengan berat gue
menatap kanan dan menemukan Boy yang tidur tertunduk di kasur.
Tanpa sadar gue mulai
terisak melihatnya.
Gue merasa bersalah
telah menghubunginya lagi dalam keadaan seperti ini. Yang lebih bersalahnya
lagi dia menolong gue setelah apa yang terjadi tempo hari di kamarnya itu.
Perpisahan yang ia ucapkan.
Boy terbangun karena
isakan gue.
“Kenapa? Ada yang sakit?
Aku panggil dokter dulu,” ucapnya bingung melihat gue menangis.
Gue menahan tangannya.
Boy berhenti, menatap gue yang kembali terisak setelah melihat tatapannya yang
hangat itu.
Gue menutup mata dengan
tangan kiri, gue tak berhak mendapatkan tatapan itu setelah apa yang telah
terjadi.
“Maaf, maaf, maaf, maaf,”
ucap gue berkali-kali, tak tahu tertuju pada siapa.
Entah dirinya atau
bahkan untuk gue sendiri.
Boy mengusap kepala gue
berkali-kali seiring kata maaf yang gue lontarkan berkali-kali. Dirinya
berusaha menenangkan gue.
“Itu sudah cukup, Raina.
Asal kamu sudah memaafkan dirimu sendiri, itu tandanya kamu sudah peduli pada
dirimu sendiri. Itu sudah cukup, Raina,” ucapnya begitu terasa menghangatkan.
Gue makin lepas menangis dan lega begitu mendengarnya.
Boy di samping sambil
menggenggam tangan gue. Itu sudah cukup untuk gue.
Itu sudah lebih dari
cukup.
Benar kan, Boy?
The End
---------------------------
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen “Pilih Mana: Cinta Atau Uang?” #KeputusanCerdas yang diselenggarakan oleh www.cekaja.com danNulisbuku.com
No comments:
Post a Comment