Jakarta adalah jantung dan ibukota negara ini. Menjadikan kota tersibuk yang pernah ada. Populasi yang begitu banyak di dalamnya membuat banyak orang menambuh nasib di sini. Memasuki bulan Desember ibukota penuh dengan ornamen natal dan tahun baru di mana-mana. Membuat bulan ini penuh kerlap-kerlip dan harapan yang muncul setiap tahunnya.
Begitu pun denganku.
Aku memang tak pernah merayakan natal, hanya saja temanku selalu mengajakku jalan di malam natal. Tiap tahun aku selalu menunggunya, sudah menjadi kebiasaan kami merayakannya dengan cara yang lain. Semacam tahun kemarin kami melakukan kompetisi memotret hingga tengah malam. Kami mengitari kota Jakarta berdua dan memotret banyak momen di tengah hiruk pikuknya kota.
Tahun ini aku menunggu apa lagi yang akan kami lakukan di malam natal. Sebenarnya ada satu yang aku inginkan di natal tahun ini.
Aku ingin menciumnya.
Terdengar aneh bukan, tetapi aku sadar bahwa dirinya sangat berarti buatku setiap tahunnya. Tak hanya di hari natal, aku benar-benar ingin mengungkapkan rasa itu padanya. Yup, dengan menciumnya.
Entah mengapa setiap melihat temanku ini aku selalu melihat bibirnya yang menurutku kissable sekali. Mungkin terdengar sedikit pervert, tetapi aku selalu tak tahan melihat bibirnya. Jadi malam natal nanti aku ingin sekali menciumnya, merasakan lembut bibirnya walau hanya sekilas.
"Kau dengar tidak? Kita ke bioskop nanti malam, nonton."
"Eh, aah iya-iya."
Aku sampai tak mendengar temanku ini berbicara tentang rencana kami malam natal nanti.
Malam itu pun datang. Kami berdua dengan semangat pergi ke bioskop di kota, menonton film yang sudah dia tunggu-tunggu dari beberapa bulan lalu. Temanku ini paling semangat bahkan sudah membeli tiketnya lewat mobile.
Kami menonton sekitar 90 menit, kami pun keluar teater.
"Seru bukan?"
"Hmm, lumayan."
Sudah hampir tengah malam, kami pun pulang ke rumah dengan jalan yang memutar. Dalam artian sebelum sampai rumah kami pergi menikmati angin malam natal hari ini. Menikmatinya berdua, hingga aku merasa darahku mengalir deras.
Sesampai di depan rumahku aku turun dari mobil sedannya. Begitu pun temanku ini.
"Ada apa Sha?"
Aku hanya mendekatinya saat ia bertanya. Hingga wajah kami hanya terpaut beberapa senti saja. Napasnya terasa di wajahku begitu pun sebaliknya. Dengan lembut aku mendekati bibirnya.
Lembut.
Tak ada tanda penolakan, malam natal ini begitu lengkap sudah. Apapun yang terjadi setelah ini, setidaknya aku mengungkapkannya. Lengkap sudah.
Aku pun perlahan mulai mundur dan tersipu malu menatapnya.
"Terima kasih untuk malam ini, Na."
No comments:
Post a Comment