BAB X1 – HEADS (PU)
Sebuah
ruangan dengan pintu hitam pekat terasa sangat misterius. Di pintu
tersebut terdapat papan metalik dengan grafir kata, tertulis HEADS.
Seseorang melangkah mendekat ruangan tersebut dan berhenti di depan
pintu, melirik kanan dan kirinya, memastikan tidak ada siapa-siapa di
sekelilingnya. Sosok pria itu mengetuk pintunya tiga kali, terdengar
seseorang dari dalam.
Pintu
terbuka.
“Bagaimana
keadaan?”
“Semua
persiapan sudah mendekati akhir,” ucap pria yang baru saja memasuki
ruangan tersebut.
Pria
tersebut sedang menghadap meja dan kursi yang cukup besar di
hadapannya. Di kursi tersebut terdapat sosok pria yang terlihat lebih
tua darinya. Sedang menatapnya serius dengan kharismanya yang ada.
“Lalu?
Mengapa kamu ke sini?”
“Ada
tamu dan beliau menunggu di ruang tunggu. Apa saya panggilkan ke
sini, Master Heads?”
“Siapa?”
“Beliau
menyebut dirinya Titor Junior.”
Pria
dengan sebutan Master Heads tersebut sedikit termenung mendengar nama
tersebut. Heads merasa ada yang aneh dengan nama tersebut. Nama
tersebut seharusnya tidak ada, ia tahu betul. Ia berasumsi bahwa ada
orang tersebut sedang menyamarkan namanya.
“Selagi
saya tak ada kerjaan, mungkin boleh kamu panggil orang tersebut ke
sini. Saya penasaran.”
Pria
tersebut keluar ruangan. Heads masih berpikir panjang dan mengetik
pada komputernya. Titor Junior. Ia memastikan memang tidak ada nama
tersebut dalam database rahasianya. Siapa yang memakai nama orang
tersebut?
Pintu
pun kembali tedengar terketuk.
Sosok
pria lain masuk ke dalam ruangan tersebut dengan ekspresi datarnya.
Heads menghela napasnya berat sembari menyentuh kepalanya.
“Saya
kira siapa, ternyata anda yang bernama Titor Junior.”
“Oh,
come on. Tidak usah terlalu formal seperti saat pertama kali bertemu.
Bukankah kita teman?”
Pria
yang menyebut dirinya Titor ini mendekat dan duduk di hadapan Heads
tanpa sungkan. Seakan pertemuan seperti ini layaknya pertemuan biasa.
“Heads,
nama yang aneh,” ucap Titor melihat plakat nama di meja tersebut.
“Bercerminlah!”
“Setidaknya
nama ini punya sejarahnya di sini.”
“Lalu,
mengapa repot-repot datang kemari, perjalanan yang cukup jauh,
bukan?”
Titor
menatap Heads dengan penuh keseriusan yang ada. Tidak menyangka bahwa
dirinya bertemu dengan situasi yang rumit seperti ini. Situasi yang
mungkin tidak terbayangkan olehnya di sini.
“Seperti
biasa. Selalu tanpa basa-basi. Straight to the point,” ucap Titor
yang merasa dirinya tidak siap.
Heads
hanya menatap balik tatapan Titor tersebut. Acuh dengan pernyataan
Titor barusan. Setidaknya Ia membenarkan fakta tersebut. Sudah
kebiasaan.
“Tujuanku
di sini? Menghentikanmu.”
“Sudah
kuduga, tapi yang jelas ini semua perintah atasan. Aku dikirim ke
sini untuk menjalankan misi rahasia ini. Aku tak tahu siapa yang
membocorkan ini kepadamu, tetapi aku tidak akan berhenti,” ucap
Heads.
“Tapi
ini semua salah! Masih ada cara lainnya. Kamu tahu ini terlalu
beresiko, tidak akan ada yang tahu hasilnya bagaimana. Semuanya akan
berubah!”
“Bukankah
itu yang menyenangkan. Mengubah semua, bermain sebagai Tuhan.”
“Sudah
kuduga kamu akan berkata demikian.”
Titor
merasa tidak ada gunanya.
“Oh
dan satu hal lagi, aku tidak akan membiarkanmu begitu saja.”
Heads
membuka salah satu laci mejanya dan mengambil benda yang sudah lama
bersarang di sana. Akhirnya waktunya tiba untuk dipakai di saat yang
tepat. Dia mengeluarkannya dari laci dan menyiapkan element
terpentingnya.
“Ouch,
revolver. Klasik.”
Seperti
dugaan Titor, dirinya sudah memperhitungkan resiko ini bahwa ia tidak
akan dapat kembali ke tempatnya. Dirinya tahu, tetapi untuk terakhir
kalinya ia ingin melihat temannya tersebut, berusaha berbicara
padanya, memperingatinya. Hanya saja, temannya tersebut sudah
bertekad besar dengan apa yang harus dilakukannya.
Sebagai
temannya Titor sudah melakukan apa yang dirinya bisa. Bahkan pergi
menghampiri temannya di sini adalah perjuangan besar walau memakan
banyak yang berharga. Baginya itu yang pertama dan yang terakhir
bermain dengan nyawa.
Kini
nyawanya yang diancam, terancam.
“Tidak
ada efeknya bukan bila aku membunuhmu di sini?” tanya Heads sambil
mengangkat revolver-nya tersebut menghadap Titor.
“Oh
tentu tidak, tapi ingat satu hal. Yang bisa mengalahkanmu hanya aku
seorang. Kita akan berjumpa lagi.”
“Aku
menunggunya!” ucap Heads menarik pelatuk revolver-nya.
Pelurunya
melesat menuju tepat di dada kiri Titor. Seakan waktu berjalan
lambat, Titor untuk yang terakhir kalinya melihat temannya tersebut
dengan tersenyum. Sampai di sini pun temannya itu masih bersikap baik
padanya, dirinya mengincar jantung di bandingkan otak. Ia tahu bahwa
dirinya akan bertemu kembali lagi di alam sana. Dirinya menebak salah
satu dari dua tempat suci, neraka. Tempat yang pantas untuk kedua
orang tersebut.
“......
Octavius.”